Mengapa "Mereka" Tak Takut Korupsi?

Diposting oleh Andre Primaries on Jumat, 02 Desember 2011

Para pelaku kejahatan korupsi di negara Indonesia ini terus bertambah hari demi hari. Dengan tertangkapnya koruptor yang terdahulu seakan tidak memberikan efek jera kepada pelaku terkemudian. Hampir setiap hari kita mendengar munculnya 'pemain-pemain baru' yang turut meramaikan ruang sidang pengadilan badut-badut 'kemaruk duit' itu. Nampaknya rasa takut sudah tidak ada lagi bagi orang-orang yang hati nuraninya memakai cap "binatang pelahap" ini. Dengan melihat grafik yang terus menaik tajam tentu memicu sebuah pertanyaan kolektif: "Apa gerangan yang menyebabkan terjadinya budaya tidak takut korupsi ini?"

Bukan sesuatu yang mudah untuk menjawab pertanyaan di atas. Dan, kita juga tahu sudah banyak jawaban yang telah diberikan oleh berbagai kalangan, terutama dari empat sudut pandang yang berbeda: politik, hukum, ekonomi, dan moral. Dalam perspektif politik, kita pernah mendengar pandangan bahwa fenomena tidak takut korupsi muncul sebagai akibat dari struktur politik yang mempunyai kekuasaan yang bersifat absolut. Hal ini setidaknya pernah disampaikan secara jelas oleh Lord Action; "Kekuasaan cenderung disalahgunakan sehingga semakin besar kekuasaan yang digenggam maka semakin besar pula peluang untuk disalahgunakan." Kalau kita menggunakan cara pandang politik dalam melihat korupsi, maka korupsi selalu melekat dalam struktur politik yang ditandai oleh fenomena pemusatan kekuasaan, baik dalam bentuk kuasa oligarki (kekuasaan sekelompok kecil), otoritarian dan bahkan totalitarian (kekuasaan pusat). Dalam struktur politik seperti itu, korupsi menjadi fungsional karena cost of politics untuk memperluas, mempertahankan dan memelihara bangun kekuasaan yang telah dibangun menjadi cukup besar.

Penjelasan lain diberikan oleh perpektif hukum, budaya tidak takut korupsi menjadi semakin merajalela, karena hukum tidak pernah ditegakkan. Ketika hukum tidak ditegakkan maka para pelaku korupsi tidak akan pernah mendapatkan hukuman yang setimpal dari perbuatnya dan kosekuensinya tidak akan terjadi efek jera terhadap para pelaku. Ironisnya, hukum yang tidak tegak juga akan memberikan pendidikan yang buruk bagi sebagain warga lainnya, karena sudah dipastikan mereka akan berpikir bahwa peluang untuk melakukan korupsi sudah terbuka lebar di depan mata, tanpa pernah takut pada ancaman hukuman yang memang tidak pernah diberlakukan.

Berbeda dengan pandangan politik dan hukum, perspektif ekonomi justru menekankan bahwa budaya tidak takut korupsi berakar pada masalah kesejahteraan yang belum merata di berbagai segmen masyarakat. Seorang pejabat publik cenderung untuk melakukan tindakan koruptif ketika sistem insentif (tambahan penghasilan) kesejahteraan yang diberikan oleh negara untuk diri mereka dan keluarganya tidak terpenuhi secara layak. Demikian pula yang dialami oleh masyarakat di akar rumput, ketika tingkat kesejahteraan masyarakat masih rendah, maka korupsi menjadi sangat fungsional sebagai bagian dari redistribusi ekonomi ke bawah. Karena tekanan ekonomi, masyarakat bawah cenderung berprilaku koruptif dengan alasan mereka melakukan itu secara terpaksa untuk memenuhi tuntutan kesejahteraan mereka.

Namun di luar perspektif politik, hukum dan ekonomi, ada perspektif lain yang perlu kita renungkan bersama, yakni perspektif moral dan etika. Dalam perspektif moral dan etika secara umum, jawaban atas kemunculan budaya tidak takut korupsi bisa ditemukan dengan menelusuri kembali gejala perubahan nilai yang tengah berlangsung masyarakat kita. Perubahan nilai itu menimbulkan kosekuensi yang mendasar pada perubahan pada perilaku masyarakat sehari-hari. Acuan masyarakat dalam menentukan apa yang disebut baik-buruk sudah mengalami perubahan sejalan dengan hadirnya nilai-nilai baru. Pemahaman tentang gejala perubahan nilai inilah bisa menjadi pijakan dalam memberi penjelasan mengapa terjadi perubahan dalam masyarakat, dari budaya takut untuk melakukan korupsi menjadi tidak takut lagi.

Perubahan nilai seperti apa yang tengah terjadi dalam masyarakat? Perilaku kehidupan masyarakat kita dewasa ini tidak lagi berdasarkan nilai luhur budaya dan prinsip moral yang diajarkan oleh ajaran masing-masing agama, sebaliknya perilaku masyarakat umumnya lebih dikendalikan oleh uang dan kedudukan. Dalam masyarakat yang semakin berorientasi pada materi, uang telah menjadi berhala baru. Seluruh pikiran, perkataan dan tindakan diabdikan untuk mengejar uang sebanyak-banyaknya. Hal di atas menegaskan kembali kecenderungan kontemporer dimana uang (harta) telah sebagai orientasi utama kehidupan masyarakat kita. Bahkan untuk memperoleh harta dan jabatan, seringkali dilakukan dengan mengorbankan orang lain. Dengan demikian, budaya mengejar uang dan kedudukan tidak hanya "merusak" moralitas individu, melainkan sangat menghancurkan peradaban masyarakat.

Setelah mengamati dari berbagai perspektif di atas, lalu bagaimana pula jika dipandang dari perspektif etis teologis? Tentu akan menjadi kajian yang menarik mengingat banyaknya varian dalam menelaah isu ini walaupun juga terdapat kesamaan secara normatif-universal. Inilah bagian dari tugas para pemuka agama untuk merumuskan dan menjabarkannya dengan persepektif etika ajaran masing-masing.
"Perubahan nilai seperti apa yang tengah terjadi dalam masyarakat? Perilaku kehidupan masyarakat kita dewasa ini tidak lagi berdasarkan nilai luhur budaya dan prinsip moral yang diajarkan oleh ajaran masing-masing agama, sebaliknya perilaku masyarakat umumnya lebih dikendalikan oleh uang dan kedudukan"
(By; Abraham Sitinjak)