Kasta, Kista dan Kusta dalam Gereja

Diposting oleh Andre Primaries on Rabu, 30 November 2011

Sebelum membaca tulisan ini lebih lanjut marilah terlebih dahulu memahami terminologi ketiga istilah di atas kusta, kista dan kusta). Kasta artinya: golongan (tingkat atau derajat) manusia dalam masyarakat beragama Hindu. Ada 5 kasta dalam masyarakat Hindu; brahmana (golongan pendeta), kesatria (golongan bangsawan dan prajurit), paria (golongan rakyat jembel yang hina-dina), sudra (golongan rakyat biasa), waisya (golongan pedagang, petani, dan tukang).

Kista, ini adalah istilah medis yang berarti selaput yang membentuk kantong tertutup, berisi kuman, tumbuh secara tidak normal dalam suatu jaringan atau rongga badan.

Kusta; inilah penyakit yang ditakuti dalam komunitas Israel. Biasanya si penderita dasingkan ke sautu tempat terisolir karena dapat menular. Menurut tradisi masayarakat Ibrani mereka yang terkena dianggap telah dikutuk Tuhan. Biasanyanya dihubungkan sebagai simbol dosa (bnd.Kel 13 dan Kel 14; Luk 18:12-19).

Ketiga istilah di atas saya artikan dalam pengertian yang lebih fleksibel sehingga secara analogi bisa digunakan dala konteks tulisan ini.
Di India, kasta merupakan tradisi turun temurun yang telah mendarah daging. Di negeri 
"ular cobra"  ini, orang sudah terbiasa hidup dengan pola pembedaan menurut kelima golongan yang mereka sebut kasta. Kasta, kali ini saya meminjam kata itu, dan menempatkanya ke dalam konteks kehidupan bergereja di Indonesia, khususnya di kota-kota besar. Hal ini dimaksudkan untuk mengajak kembali melihat lekak-lekuk kemiringan dan ketimpangan gereja dalam mengaktualisasikan kasih Kristus terhadap sesama. Sehubungan dengan kasta, yang berarti "golongan-golongan yang ada dalam jemaat", mari kita persoalkan fakta yang terjadi di lingkungan gereja kita.

Kalau kita mau jujur dan dengan cermat mengamati kehidupan gereja-khususnya di kota besar, maka performance yang ditampilkan walau agak samar-samar adalah: pengkastaan jemaat. "Pengkastaan jemaat" istilah ini menunjuk kepada praktek pembedaan golongan yang ada dalam jemaat. Golongan yang dimaksud bisa berarti golongan menurut ras/suku, atau strata ekonomi. Amatilah secara cermat, lihat dan perhatikan gereja-gereja yang telah berdiri di Jakarta dan di kota-kota besar lainnya. Nampak suatu komunitas jemaat yang tersekat-sekat berdasarkan golongan tadi.

Ada gereja yang jemaatnya kaum miskin. Gereja ini biasanya memiliki anggota jemaat yang ekonominya pas-pas-an. Di antara mereka ada yang berprofesi pedagang kecil atau pekerjaan informal lainnya. Mulai dari penjual sayur sampai penjual rujak cingur ada di sini. Dari yang profesinya sebagai kondektur sampai penganggur juga ada. (dan jangan harap anda bertemu insinyur di dalamnya). Sepintas kelihatan gereja ini diperuntukkan bagi mereka yang kurang mampu, (atau minimal sekedar cukup).

Di sisi yang lain, ada pula gereja yang anggotanya golongan borjuis. Mulai dari entrepreneur (pengusaha), arsitektur, dan insinyur ada di sini. Dokter pun ada, begitu juga pengacara dll. Pokoknya lengkap. Pernah ada yang bilang, wah nih gereja jemaatnya pake sedan semua.

Tentu ada pula gereja yang cukup solidar terhadap keduanya. Inilah potret gereja yang kita lihat di sekeliling kita.Mengapa hal ini perlu dipersoalkan? Karena memang inilah faktanya. Inilah bahaya laten gereja.

Ambil contoh saja, kasus yang baru-baru ini terjadi pada gereja di India. Seperti yang dimuat dalam www.jawaban.com. Tahukan saudara, bahwa ada 1000 jiwa anggota jemaat Kristen kembali menjadi Hindu. Hal itu terjadi lantaran jemaat kecewa karena merasakan adanya kasta-kasta dalam gereja.Untuk lebih lengkapnya lihat informasi yang saya kutip dari situs ini:

Sekitar 1.000 kaum Dalit Kristiani berubah kembali ke Hindu Senin lalu di daerah Selatan India pada perayaan kelahiran ke-117 Bhimrao Ambedkar, seorang pemimpin Dalit yang berjuang demi kebebasan sosial untuk kelompok masyarakat India yang "tidak tersentuh" itu.

Umat Kristiani Dalit dari kota Tirunelveli yang dirubah kembali oleh biksu Hindu Tamil Nadu Council, menurut surat kabar The Times India. Proses formal perubahan kembali ke Hindu melibatkan ritual pertobatan yang diikuti dengan sebuah upacara penyucian.

"Kami akan menyucikan semua yang kembali ke Hindu dengan memercikkan Gangga Theertha (air Gangga) dan Sethu theertha (air sethu)," kata presiden dari partai politik Hindu yang sangat konservatif Makkal Katchia (HMK), Arjuna Sampath, berdasarkan harian AsiaNews.

Rencananya HMK akan mengubah kembali 20.000 umat Kristiani lainnya di Villupuram, bagian India selatan, menurut AsiaNews.

Umat Kristiani Dalit di negara bagian Tamil Nadu mengungkapkan bahwa mereka menghadapi perbedaan kasta. Bulan lalu umat Kristiani yang berkasta tinggi berbenturan dengan Kristen Dalit yang rendah. Dua orang meninggal akibat konflik tersebut. Ketegangan di antara dua kelompok orang Katolik, Dalits dan non Dalit, menjadi sangat buruk sampai-sampai mereka memisahkan tempat pemakaman, dan di dalam gereja, memisahkan bangku-bangku gereja.

"Ini adalah situasi yang patut disayangkan. Saya tidak ingin mengomentari hal ini," kata Pastor S. Lourdusamy, mantan sekretaris eksekutif Konferensi Uskup Katolik India, menurut The Times India. "Saya menanyakan pada Uskup Katolik untuk mengambil langkah-langkah perbaikan. Tetapi tidak ada yang dapat menghentikan perlawanan umat Kristiani Dalit. Ini adalah hasil dari beberapa perubahan-perubahan," katanya.

Pada tahun 2003 Paus Yohanes Paulus II mendesak uskup Tamil Nadu untuk menyelesaikan perpecahan ini.
"Ada beberapa kemiripan dalam sebuah kasta didasarkan pada dugaan di dalam hubungan antara Kekristenan adalah sebuah tanda balasan atas kemurnian solidaritas kemanusiaan, sebuah ancaman kemurnian spiritual dan sebuah gangguan serius bagi misi gereja-gereja injili," lebih lanjut Paus mengatakan.

"Oleh karena itu, kebiasaan atau tradisi yang mengabadikan atau menguatkan kembali pemisahan kasta sebaiknya lebih lagi disusun, sehingga dapat mengekspresikan suatu solidaritas bagi seluruh komunitas Kristen," katanya. "Sebagaimana Rasul Paulus mengajarkan kita, "jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita" (1 Korintus 12:26).

Ini adalah tugas Gereja untuk bekerja tanpa kenal menyerah untuk mengubah hati, membantu semua orang untuk melihat setiap manusia sebagai anak-anak Tuhan, saudara dan saudari di dalam Kristus, dan oleh karena itu merupakan anggota dari keluarga kita sendiri," kata paus waktu itu.

Total jumlah orang Kristiani di India adalah 24 juta. Dimana dalam populasinya, umat Kristiani Dalit berjumlah 15 juta sementara umat Kristiani lain sebanyak 3 juta.

Kasta yang Menjadi Kista

Hingga hari ini jujur saja, banyak gereja masih mengalami ketimpangan dalam menerapkan ajaran Kristus. Kebudayaan pengkastaan bukan hanya ada di India, di Indonesia pun ada, begitu juga di berbagai belahan dunia lain dalam bentuk dan cara yang berbeda. Mungkin saja kelihatan agak samar-samar, namun jujurlah terhadap nurani...dengarkan apa yang ia bisikkan! Kasta telah menjadi kista dalam gereja yang seharusnya tidak membeda-bedakan golongan. Jelas hal itu memperlihatkan bahwa kasih Kristus belum benar-benar tertanam dan dihidupi dalam gereja. Penghayatan jemaat terhadap kasih masih mentah.

Mari berdoa bagi kaum Dalit India, supaya kasih Tuhan itu benar-benar mengubahkan kehidupan mereka, dan menghapus setiap kekecewaan dan luka yang ada dalam hati mereka. Begitu juga bagi gereja di Indonesia. Selayaknyalah dimulai dari para penilik jemaat (pendeta) agar bisa menjadi polopor menggerakan jemaat untuk mengasihi tanpa pandang bulu. Jangan sampai ada jemaat yang kecewa sehingga menjadi anti terhadap gereja.Ingatlah, jika kasta sudah mengkista, maka menyusul kusta yang akan mengaibkan gereja di mata dunia. Tragis dan mengharukan!

(Ditulis Oleh : Abraham Sitinjak, S.Th)
Read More

Etika Konseling

Diposting oleh Andre Primaries on Selasa, 29 November 2011

Beberapa hal penting berhubungan dengan Etika dalam Konseling:

 1. Kerahasiaan

Kerahasiaan adalah hal yang sangat penting dalam konseling. Tanpa jaminan kerahasiaan, konseling tidak dapat dimulai dan kalaupun sudah berlangsung, tidak akan berlanjut terus. Batas kerahasiaan hanyalah bila ada nyawa yang terancam hidupnya (nya konseli atau orang lain). Yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah:

a.Privacy

Ini adalah hak seorang konseli untuk dibiarkan (to be left alone) dan menentukan sendiri kapan, dimana dan seberapa banyak ia membuka diri kepada konselornya.

b.Confidentiality

Ini adalah kualitas dan kuantitas hal yang dibukakan kepada konselor dengan janji terucapkan atau tidak dan harapan bahwa hal itu tidak diberitakan kepada orang lain kecuali sesuai dengan tujuannya.

c.Privilege

Ini adalah perlindungan secara hukum untuk tidak melanggar janji dalam kasus pengadilan.

2.Kekudusan

Sebagai seorang konselor Kristen, tidak ada tawar-menawar mengenai kekudusan dalam hubungan dengan konseli. Jelas bahwa hubungan seksual antara konselor dan konseli adalah hubungan yang berdosa. Banyak psikolog, psikiater, dokter dan juga pendeta yang telah jatuh dalam dosa ini. Kerugian yang diderita konseli jauh lebih besar daripada yang diderita konselor.

a.Kerugian pada konseli:

Banyak konseli yang dimanipulasi dalam hal ini mengalami akibat seperti: depresi yang bertambah, kehilangan motivasi, penyesuaian sosial yang berkurang, gangguan emosi yang signifikan serta penggunaan alkohol dan obat yang bertambah. Juga mungkin didapatkan rasa bersalah, bingung, kekosongan dan kesepian, ketidak mampuan untuk mempercayai orang lain, labil dalam emosi, kemungkinan bunuh diri yang lebih tinggi, kemarahan yang dipendam.

Wanita yang terlibat secara seksual dengan konselornya akan kurang percaya dan lebih marah kepada pria secara umumnya. Gejala gangguan sebulan setelah selesai terapi lebih banyak daripada yang tidak terlibat secara seksual. Wanita yang pada masa lampaunya pernah mengalami sexual abuse (aniaya seksual) dan korban pelecehan seksual dan kemudian dalam konseling terlibat secara seksual dengan konselornya akan mengalami gangguan yang paling parah. Luka lama mereka bukannya menjadi sembuh tetapi terbuka kembali.

b. Konselor yang memanipulasi secara seksual:

Beberapa tipe konselor yang memanipulasi secara seksual ialah:

-Menderita gangguan psikosis. Tidak terlalu banyak yang seperti in
-Narsisistik dan Antisosial. Kebanyakan mereka adalah pria yang selalu mencari mangsa di antara konselinya. Bila tertangkap mereka mengaku sungguh-sungguh mencintai konselinya. Sebenarnya konselinya hanyalah obyek pemuasan diri mereka.
-Lovesickness. Kebanyakan konselor yang terlibat secara seksual dengan konselinya memiliki kebutuhan tinggi untuk dicintai dan mengidolakan konselinya. Banyak konselor tengah umur yang mengalami krisis dalam hidup atau keluarganya yang "jatuh cinta" kepada konseli wanitanya yang lebih muda. Mula-mula ia membagikan masalah, kebutuhan dan penderitaannya. Peran yang terbalik terjadi (konseli memenuhi kebutuhan konselor) yang mudah berakhir dengan keterlibatan seksual.
-Masochistic surrender. Di sini konselor membolehkan dirinya diintimidasi oleh konselinya. Permintaan konseli selalu dituruti konselor karena "takut konseli bunuh diri." Membatasi konseli terasa kejam oleh konselornya. Konselor mungkin merasa terjebak dan menunjukkan marahnya kepada konseli. Akibatnya ia kemudian merasa bersalah hingga ketika diminta untuk melayani secara seksual, ia terpaksa menurutinya. Berbeda dengan konselor yanglovesick, disini konselor merasa terjebak dan tidak jatuh cinta kepada konselinya.
Sang konselor yang memiliki kebutuhan besar untuk disanjung dan dihargai, tidak dapat melihat bahwa sanjungan konseli terhadapnya hanyalah kebutuhan kekanak-kanakan.

3. Kepribadian yang memadai

Di samping kedua hal di atas yang harus ada pada seorang konselor, ia perlu juga memiliki ketulusan hati yang tidak tergoyahkan. Ini sesuai dengan kehendak Kristus dalam Matius 5:37. Ia tidak menjadi seorang konselor hanya karena rasa ingin tahunya yang besar. Ia juga tidak manipulatif dengan memanfaatkan orang lain untuk keuntungannya sendiri: uang, fasilitas, pekerjaan, dll.
(Ditulis oleh: Pdt. Jonathan Trisna, D.Th) Sumber : blog.seminaribethel.net
Read More

Jemaat : Jangan "Gagap Teologi"

Diposting oleh Andre Primaries

Judul di atas bukan sebuah peringatan sensasional yang terlalu dibuat-buat. Faktanya berada tak jauh dari sekeliling kita. Bahkan dahulu Rasul Paulus sempat kecewa menghadapinya. Fakta-fakta tersebut teraplikasi dalam kehidupan jemaat dewasa ini, di mana mereka nampak sangat rentan dan kurang bergairah memenuhi tuntutan imannya. Terhadap fenomena itu maka tulisan ini mengajak kita mengamatinya dari dekat. 

"Teologi" dan "Gagap Teologi"
Kita sering mendengar istilah 'teologi' yang biasanya diungkapkan oleh mereka yang berkecimpung dalam lingkup akademi atau pelayanan gerejawi. Definisi kata 'teologi' memang beragam, mulai dari yang sederhana sampai kepada definisi yang abstrak, teoritis dan filosofis. Namun dari setiap perbedaan itu memiliki prinsip dasar yang sama antara satu dengan lainnya. Secara harafiah kata 'teologi/theologia' berasal dari dua kata Yunani, yaitu 'theos' yang berarti Allah dan 'logos' yang berarti 'pengetahuan', 'hikmat' atau 'akal', atau 'lego' (kata kerja) dapat diterjemahkan sebagai 'ucapan', 'susunan', 'berbicara' (to lay, to arrange, to say). Jadi secara harafiah 'teologi' berarti: berbicara tentang Allah atau apa yang dipikirkan atau dikatakan tentang Allah. Bila seorang berkata: "Allah itu maha kuasa", "Allah itu ajaib" dan lain sebagainya, maka ia sedang berteologi. Dengan definisi seperti ini maka semua orang bisa berteologi dan berhak untuk itu.

Dalam iman Kristen ketika seseorang berteologi, maka yang menjadi sumber (wahyu) pengetahuan tentang Allah itu sendiri adalah Alkitab. Bila teologi dihubungkan dengan Alkitab maka teologi identik dengan pembelajaran Alkitab. Pembelajaran di sini mencakup bagaimana meyelidiki ayat-ayat Alkitab sehingga dapat ditemukan maksud ayat tersebut. Dalam penyelidikan itu diperlukan juga kemampuan menafsir ayat-ayat Alkitab atau yang dalam studi teologi disebut dengan "eksegese". Namun dalam perkembangannya, pengertian yang benar dan utuh tentang kata 'teologi' mengalami pergeseran (distorsi) arti di tengah-tengah jemaat masa kini.
Bagi para pendeta kata "teologi" bukanlah suatu yang asing, tetapi bagi mereka yang merasa dirinya sebagai jemaat awam terasa kurang familiar di telinganya. Bagi mereka, 'teologi' sering diidentikan dengan sesuatu yang sulit dan berat untuk dipahami, itu hanya mungkin untuk mereka yang berkiprah dalam lingkup akademis dan kaum intelektual saja. Ada pula yang memandang teologi dengan sinis dan menganggapnya sebagai ilmu yang menyimpang dari kebenaran Alkitab atau sekedar ajang permainan otak belaka, yang melahirkan filsafat kosong, dan berbagai statement lainnya. Tetapi apakah benar demikian? Asumsi ini mengawali kesalahan konsep tentang arti kata 'teologi' yang sebenarnya. Bahkan telah memposisikan teologi (berteologi) sebagai kegiatan ekslusif yang tak mungkin dijangkau jemaat awam. Jemaat merasa tak perlu lagi menjadikan teologi sebagai bagian dari pembelajaran/pemuridan orang percaya. Lambat laun persepsi seperti ini hanyut dalam gelombang sejarah umat Tuhan di berbagai tempat di muka bumi.

Anggapan teologi sebagai "sesuatu yang sulit dijangkau", "bersifat akademis" dan lain sebagainya, telah mendarah daging di benak jemaat, yang pada akhirnya cenderung akan menjadikan jemaat yang alergi dengan teologi. Padahal sesungguhnya teologi tidak meluluterkait dengan predikat seperti itu. Kecenderungan-kecenderungan itu kelak akan membawa jemaat kepada suatu keadaan yang saya sebut "gagap teologi" (disingkat:"gapteg"). Istilah ini hanya sebuah plesetan dan belum terdaftar dalam khasanah bahasa Indonesia yang baku, namun dalam arti konotatifnya jelas, yaitu menunjuk kepada kondisi seseorang yang tidak banyak memahami pengetahuan tentang kebenaran firman Tuhan yang tertuang dalam ayat-ayat Alkitab. Termasuk juga di dalamnya ketidakmampuan untuk menyelidiki/menelaah Alkitab sendiri dengan baik.

Melihat Realitas, Menemukan Fakta
Fakta adanya jemaat yang 'gagap teologi' bukan berita baru. Dalam realitas di lapangan kita masih melihat banyak sekali jemaat yang belum memiliki kemampuan untuk menelaah firman Tuhan secara baik dan benar. Ketergantungan mereka terhadap bantuan hamba-hamba Tuhan nampaknya masih sangat kuat. Session tanya jawab yang digelar di berbagai kesempatan nampaknya masih merupakan jembatan satu-satunya untuk mencari jawaban atas pertanyaan jemaat. Sungguh sangat memprihatinkan jika kita menjumpai ada banyak jemaat yang sebenarnya boleh dikatakan sudah cukup lama menjadi Kristen, lantas menanyakan apa yang semestinya tak perlu ditanyakan. Sebenarnya jika saja mereka mau belajar dengan rajin dan memiliki sedikit bekal untuk mengerti cara menyelidiki/menelaah ayat-ayat Alkitab, maka tak perlu lagi bertanya kepada hamba Tuhan. Dalam hal ini saya tidak mengingkari adanya ayat-ayat yang sulit dipahami oleh jemaat.

Hal yang mirip dialami juga oleh rasul Paulus ketika berhadapan dengan jemaat Ibrani. Suatu kali rasul Paulus mengeluh dan kecewa melihat keadaan jemaat Ibrani yang mengalami stagnasi dalam memahami firman Tuhan. Keluhan sekaligus teguran itu tercatat dalam kitab Ibrani pasal 5 ayat 12-13 yang bunyinya: "Sebab sekalipun kamu, ditinjau dari sudut waktu, sudah seharusnya menjadi pengajar, kamu masih perlu lagi diajarkan asas-asas pokok dari penyataan Allah, dan kamu masih memerlukan susu, bukan makanan keras. Sebab barangsiapa masih memerlukan susu ia tidak memahami ajaran tentang kebenaran, sebab ia adalah anak kecil". Dalam mengantisipasi masalah ini maka Rasul Paulus mencoba menawarkan sebuah program belajar lanjutan (advanced) kepada mereka. Untuk itu dia berkata, "Sebab itu marilah kita tinggalkan asas-asas pertama dari ajaran tentang Kristus dan beralih kepada perkembangannya yang penuh. Janganlah kita meletakkan lagi dasar pertobatan dari perbuatan-perbuatan yang sia-sia, dan dasar kepercayaan kepada Allah, yaitu ajaran tentang pelbagai pembaptisan, penumpangan tangan, kebangkitan orang-orang mati dan hukuman kekal. Dan itulah yang akan kita perbuat, jika Allah mengizinkannya" (Ibr 6:1-2). Undangan atau himbauan ini tentu bukan berlaku bagi jemaat saat itu saja, melainkan bagi kita juga. Dengan kata lain Paulus mengajak semua jemaat dari berbagai generasi di seluruh dunia agar menjadi jemaat yang terus bertumbuh dalam pengenalan akan Tuhan dan memiliki kemampuan untuk menyelidiki Alkitab secara pribadi.

Di sinilah hamba-hamba Tuhan selaku pembimbing jemaat perlu menyoroti seberapa besar kesadaran jemaat akan pentingnya pembelajaran Alkitab secara pribadi yang menurut pandangan saya sampai hari ini masih belum maksimal dan jauh dari ideal. Saya masih melihat adanya sindrom yang telah berakar begitu kuat di kalangan jemaat. Nampaknya masih ada anggapan bahwa hamba Tuhan sajalah yang perlu mendalami Alkitab sedalam-dalamnya, sementara jemaat secara pasif menunggu apa yang mau disampaikan oleh hamba Tuhan itu. Ini menjadi sangat naif jika masih terus dibiarkan dalam kehidupan jemaat. Dampak yang akan dirasakan oleh gereja tentu bukan sepele. Kita perlu belajar dari sejarah kelam masa lalu di kalangan gereja Roma Katolik. Roma Katolik pernah menggoreskan kenangan kelabu bagi pertumbuhan iman jemaatnya. Pada tahun 1229 Council of Valencia, membuat keputusan yang menyatakan bahwa orang awam dilarang memiliki Alkitab. Yang boleh dimiliki hanyalah kitab Mazmur dan buku doa Roma Katolik, dan itupun harus dalam terjemahan bahasa Latin, yang jelas-jelas tidak dimiliki oleh jemaat awam karena memang belum dibuat terjemahannya. Keputusan ini telah melukai hati sebagian orang yang sungguh-sungguh ingin mencari kebenaran firman Tuhan dalam Alkitab. Alasan pelarangan itu disebabkan Roma tidak menyenangi pemahaman Alkitab baik untuk imam/pastor maupun untuk jemaat, karena mereka mendapatkan terlalu banyak hal di sana (dalam Alkitab) yang tidak cocok/sesuai dengan ajaran gereja mereka. Itulah sebabnya jika sekarang ada gereja Katolik atau seorang pastor yang menganjurkan jemaat biasa membaca Alkitab, sebetulnya itu adalah suatu penyimpangan dari ajaran Roma Katolik yang sesungguhnya (lihat dalam: 'Roman Catholicism', Loraine Boettner, Presbyterian and Reformed Publishing,New Jersey 1982 pada halaman 67-68). 

Memang pristiwa ini sudah lama terjadi, tetapi kekuatan sindrom atau pengaruh yang dibiaskan kepada generasi sesudah itu adalah "Adanya kecenderungan kuat bahwa penyelidikan/penelaahan ayat-ayat Alkitab hanya pantas dilakukan oleh kaum klerus (rohaniawan) saja". Dalam perjalanan sejarah yang panjang, mungkin saja terjadi kristalisasi atas anggapan bahwa penyelidikan/penelaahan Alkitab itu tidak menjadi suatu yang mutlak bagi jemaat. Dalam reaksi yang lebih konkret dan relevan di masa sekarang, maka akan terdengar seruan "Ah, itu kan tugas hamba-hamba Tuhan, Saya hanya jemaat biasa lho!", dan sebagainya. Dengan demikian mereka telah melepas tanggung jawabnya sebagai orang percaya yang seharusnya juga bertanggung jawab untuk menggumuli setiap kebenaran yang dipelajarinya setiap hari dari Alkitab. Jika ini dibiarkan maka sebagai akibatnya jemaat menjadi malas mempelajari Alkitab yang berbuntut pada rentannya iman jemaat terhadap resiko penyesatan.

Bernostalgia ke Jemaat Perdana
Benarkah penyelidikan/penelahan Alkitab hanya untuk kalangan hamba Tuhan saja? Jika kita kembali melihat sejarah jemaat yang perdana (mula-mula), maka kita akan menemukan adanya profil jemaat yang kritis dan mapan dalam penyelidikan Alkitab. Itu dapat kita lihat dalam Kisah Rasul 17:10-15, terlebih khusus pada ayat 11; "Orang-orang Yahudi di kota itu lebih baik hatinya dari pada orang-orang Yahudi di Tesalonika, karena mereka menerima firman itu dengan segala kerelaan hati dan setiap hari mereka menyelidiki Kitab Suci untuk mengetahui, apakah semuanya itu benar demikian."

Dalam kisah ini kita dapat menemukan adanya jemaat yang kritis terhadap ajaran-ajaran yang pernah didengarnya. Mereka giat untuk menyelidiki Kitab Suci untuk mengetahuinya apakah itu benar demikian. Johan Albrecht Bengel pernah mengatakan bahwa 'karakteristik agama yang sejati dan benar adalah agama yang terbuka untuk diteliti dan dianalisa, dan kemudian menuntut suatu hasil keputusan'. Pernyataan ini dibuat oleh Bengel pada tahun 1742. Namun kira-kira 17 abad sebelumnya, prinsip ini sudah diyakini oleh orang-orang Kristen yang berada di Berea. Firman Tuhan yang mereka terima dari pemberitaan Paulus tidak asal diterima begitu saja namun mereka menyelidiki firman Tuhan sendiri. Terlihat jelas bahwa mereka adalah jemaat yang terbuka kepada doktrin/ajaran namun tidak kepada indoktrinasi (sistem pengajaran yang bersifat sewenang-wenang dan menuntut penerimaan ajaran itu tanpa sikap kritis).

Dokter Lukas penulis kitab ini mencatat dengan jelas sekali bahwa jemaat di Berea ini setiap harinya menyelidiki Kitab Suci. Kitab suci yang dimaksud di sini adalah kitab Perjanjian Lama yang ditulis dalam bahasa Yunani (septuaginta) yang biasa disimpan di rumah-rumah sembahyang orang Yahudi (sinagoge). Tindakan jemaat di Berea merupakan teladan bagi semua jemaat yang mendengarkan pengkhotbah dan guru yang menguraikan ajaran Alkitab. Tidak ada satu penafsiran atau ajaran apapun yang harus diterima secara pasif. Sebaliknya, harus diperiksa secara cermat dengan menyelidiki Alkitab sendiri. Kata "menyelidiki" diterjemahkan dalam teks Yunani: 'anakrino' yang artinya 'mengayak', 'memeriksa','menilai', 'menguji', 'menghakimi', 'menyelidiki dengan sangat teliti dan cermat'. Kata 'menyelidiki' yang dipakai di sini setara dengan sistem penyelidikan yang dipakai bidang hukum untuk menemukan kebenaran secara akurat. Mereka bersikap kritis untuk menemukan kebenaran yang utuh dan murni. Dan yang lebih menarik lagi mereka menyelidiki Kitab Sucinya setiap hari.Dalam konteks kehidupan bergereja sekarang ini, biasanya jemaat dianjurkan untuk membaca Alkitab dan renungan harian sebagai konsumsi setiap hari. Itu memang baik. Tetapi jika kita bandingkan dengan apa yang dilakukan oleh jemaat di Berea adalah hal yang berbeda. Kata 'menyelidiki' (anakrino) memiliki nilai yang lebih tinggi dari pada sekedar membaca Alkitab dan merenungkannya (kontemplasi).

Menyelidiki Kitab Suci (Alkitab) diperlukan ketelitian, kecermatan, bahkan kehausan akan kebenaran yang murni. Memang bukanlah hal yang mudah, selain perlu bimbingan Roh Kudus, juga memerlukan kemampuan menafsir ayat-ayat Alkitab dengan menggunakan kaidah-kaidah penafsiran yang benar. Jika kita kembali melihat konteks pada saat itu, maka faktor yang melatarbelakangi semangat jemaat untuk bertindak kritis terhadap setiap ajaran ialah karena banyaknya pengaruh pengajaran yang menyesatkan. Gnostik adalah salah satu agama yang banyak dianut orang Yunani dan merupakan tandingan bagi kekristenan pada masa itu. Jiwa kritis dan semangat "memburu kebenaran sejati" yang melekat pada jemaat di Berea merupakan suatu keunggulan tersendiri sehingga layak untuk menerima kualifikasi sebagai jemaat terbaik. Lukas penulis kitab ini memberikan perbandingan antara jemaat di Berea yang adalah lebih baik dibanding jemaat di Tesalonika yang telah menolak pemberitaan Paulus (13:51-52; Kis 17:1-9). Kata "lebih baik hatinya" (KJV: These were more noble) menggunakan teks Yunani: 'eugenesteroi'. Secara harfiah berarti 'lebih baik' atau 'lebih mulia'. Tetapi di sini kata itu digunakan untuk menunjuk kepada suatu mutu pikiran dan hati, yaitu ketulusan (tidak dibuat-buat) untuk berkeinginan menguji kebenaran suatu doktrin yang telah didengar.

Masih dalam ayat yang sama juga dikatakan "karena mereka menerima firman itu dengan segala kerelaan hati". Kalimat ini bisa merupakan sebuah alasan sehingga mereka disebutkan sebagai jemaat yang 'lebih baik hatinya', dan sekaligus merupakan penyebab sehingga mereka bersemangat untuk menyelidiki Kitab Suci guna mendapatkan kebenaran atau kepastian dari apa yang disampaikan oleh Paulus dan Silas saat itu. Sudah barang tentu bagi kita yang hidup sekarang dapat mempercayai pemberitaan Paulus dan Silas tanpa ragu. Tetapi jemaat pada saat itu benar-benar butuh peneguhan atau klarifikasi sehingga dapat memastikan bahwa suatu ajaran itu benar-benar tidak menyimpang dari Kitab Suci mereka. Mereka mulai mencocokan nubuat-nubuat dalam kitab Perjanjian Lama mengenai ke-Mesias-an Yesus Kristus seperti yang disampaikan oleh rasul Paulus dan Silas.

Ada dua hal yang membuat jemaat di Berea berbeda dari jemaat Tesalonika. Pertama, mereka menerima firman itu dengan segala kerelaan hati. Kedua, mereka menyelidiki Kitab Sucinya setiap hari. Inilah potret jemaat perdana yang pantas menerima acungan jempol dan patut diteladani. Korelasi fenomena jemaat di Berea dan jemaat modern saat ini berpangkal pada persamaannya dalam hal menghadapi pengaruh-pengaruh ajaran tidak sehat. Dalam ayat 13 ditulis; Tetapi ketika orang-orang Yahudi dari Tesalonika tahu, bahwa juga di Berea telah diberitakan firman Allah oleh Paulus, datang jugalah mereka ke sana menghasut dan menggelisahkan hati orang banyak. Keadaan yang digambarkan Lukas di sini benar-benar mengingatkan situasi gereja yang sedang kita hadapi sekarang. Kesimpangsiuran ajaran dan berbagai doktrin/ajaran tidak sehat semakin 'menggurita' di dalam gereja. Berbagai modus penyesatan terselubung datang menghasut jemaat yang pada akhirnya menggeser kemurnian imannya. Tragisnya jemaat akan dibuat menjadi opurtunis dan egois, bukan menuruti kehendak Tuhan melainkan mengikuti hawa nafsunya saja. Bukan theosentris (berpusat pada Allah) tetapi antroposentris (berpusat pada manusia/diri sendiri). Tuhan dieksploitasi sedemikian rupa untuk memperoleh keuntungan pribadi. Begitu juga ayat-ayat Alkitab dimanipulasi demi maksud-maksud tertentu. Ini hanyalah sebagian kecil ciri-ciri dari penyesatan terselubung dalam gereja Tuhan (Sebaiknya baca buku : "Penyesatan Terselubung Dalam Gereja" oleh Erastus Sabdono, penerbit: Sola Garcia Publisher).

Menemukan yang Ideal
Pesan penting dari eksegese teks Kis 17:11 di atas semakin meneguhkan kita untuk berpikir: "Perlu adanya kemapanan/kemandirian jemaat untuk memahami Alkitab secara pribadi agar jemaat kritis terhadap segala ajaran yang didengarnya". Itulah sebabnya kualifikasi jemaat di Berea dapat dijadikan sebuah acuan sebagai jemaat ideal, yaitu jemaat yang siap mengahadapi situasi masa depan gereja di mana terdapat banyak sekali intrik-intrik penyesatan yang datang luar maupun dari dalam. Aplikasi gagasan ini bisa menjadi tindakan preventif-antisipatif terhadap resiko penyesatan. Bisa diprediksi bahwa resiko tertinggi berada di pihak jemaat. Beberapa tahun silam kita dikagetkan dengan berita bahwa 'Saksi Yahova' yang telah beberapa tahun lalu dilarang oleh pemerintah, kini diijinkan kembali keberadaanya di Indonesia. Pada 1976, Jaksa Agung pernah melarang aktivitas kelompok ini di Indonesia, namun pada tahun 2000 pelarangan itu dicabut kembali oleh presiden Abdurrahman Wahid. Saksi Yahova hanyalah salah satu dari sekian banyak bentuk penyesatan yang datang dari luar gereja.

Lebih berbahaya lagi jika penyesatan justru muncul dari mimbar gereja secara terselubung. Tentu kesiapan jemaat untuk membentengi diri sangat ditentukan oleh kemampuanya dalam menganalisa setiap doktrin/ajaran yang didengarnya. Untuk membedakan apakah seseorang membawa ajaran yang sehat atau tidak, harus menggunakan ukuran Firman Tuhan yang ditulis oleh Alkitab. Cara menilai penyesat tidaklah semata-mata hanya dengan melihat tabiat orang itu. Memang pada akhirnya kita dapat membedakan nabi palsu atau tidak tergantung dari "buahnya" (Mat 7:15-23). Namun dalam kondisi tertentu sangat perlu klarifikasi secepatnya sebelum terjebak lebih jauh ke dalam penyesatannya. Oleh sebab itu jemaat sebagai 'sasaran tembak' penyesatan tersebut, harus memiliki kemampuan untuk menganalisa ajaran tersebut serta menyelidiki di dalam Alkitab apakah ajaran yang didengarnya itu benar demikian. Di sinilah jemaat perlu memiliki kemapanan untuk memahami Alkitab secara pribadi. Hamba Tuhan (pendeta, gembala sidang) memang sebagai nara sumber pembelajaran teologis, tetapi tidak setiap waktu hamba Tuhan dapat mendampingi jemaat. Kecermatan dan kemampuan jemaat untuk menganalisa suatu ajaran, sangat menolong banyak bukan saja untuk menghadapi bahaya penyesatan tetapi juga bagi kedewasaan rohaninya.

Menantang Hari Esok
Dengan merenungkan uraian panjang lebar di atas, maka jemaat harus sadar dengan situasi yang sedang menimpa gereja-gereja hari-hari ini. Untuk itu jemaat tak boleh "gagap teologi". Jika ingin mempunyai iman yang berintegritas seseorang haruslah sungguh-sungguh memahami apa yang ia yakini dengan keterbukaan dan dengan seluruh kemampuan berpikir kritis untuk 'menguji' seluruh kebenaran ajaran itu. Oleh sebab itu semangat untuk menyelidiki Alkitab secara pribadi perlu terus menerus dikembangkan dalam kehidupan setiap hari. Kritis terhadap setiap ajaran yang kita dengar akan membuat kita lebih giat menyelidiki Alkitab dan segala kebenarannya. Untuk itu diperlukan kemapanan/kemandirian untuk memahami Alkitab secara pribadi. Hamba Tuhan (pendeta, gembala sidang) memang sebagai nara sumber pembelajaran teologis, namun jemaat juga bertanggung jawab untuk memiliki kemapanan dalam penyelidikan/penelaahan Alkitab secara pribadi.

Demikian pula bagi hamba-hamba Tuhan agar selalu mengingatkan semuanya itu tanpa merasa jenuh. Khotbah yang Alkitabiah harus menjadikan setiap pendengarnya orang yang gemar belajar Firman Allah. Jika gereja di analogikan sebagai "sekolah Alkitab" seperti yang pernah dikatakan oleh Peter Wagner, maka antara guru dan murid telah memiliki tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. Hamba Tuhan (pendeta, Gembala Sidang, dll) yang adalah guru jemaat, harus dengan kesabaran terus membimbing jemaat dengan pengetahuan dan dan ajaran yang sehat. Demikian pula sebaliknya, jemaat dalam statusnya sebagai murid juga harus menjadi murid yang baik dengan rajin belajar dan mematuhi segala yang diperintahkan gurunya. Jika hubungan keduanya dilakukan dengan tulus maka akan lahir sebuah generasi yang tangguh siap menghadapi masa depan yang penuh tantangan. Soli Deo. http://blog.seminaribethel.net/tulisan-99-jemaat--jangan-gagap-teologi.html
Read More

Fakta Sejarah Tahun Kelahiran Yesus Kristus

Diposting oleh Andre Primaries

Awalnya saya mengira tahun kelahiran Yesus Kristus adalah 1 Masehi. Mungkin pemikiran tersebut berasal dari dari cerita-cerita sekolah minggu atau khotbah-khotbah hari minggu. Yang mengatakan bahwa “Yesus lahir 2000 tahun yang lalu” (waktu acara natal tahun 2007, pembawa acaranya mengatakan “pada saat Yesus lahir  lahir 2007 tahun yang lalu…”). Hal-hal tersebut bisa mengisyaratkan bahwa kita yang awam belum mengetahui dengan persis kapan peristiwa kelahiran tersebut atau berpendapat 1 Masehi adalah tahun kelahiran Yesus.

Jika dihubungkan dengan sejarah, sederhananya yang menjadi patokan tahun kelahiran tersebut adalah Herodes Agung yang di dalam Kitab Injil.
Herodes Agung menurut para ahli diperkirakan meninggal pada tahun 4 sebelum masehi (silahkan googling tentang , Herod the Great untuk memastikan tahun kematiannya) pada saat Yesus yang masih balita sedang berada dalam pelarian di Mesir untuk menghindar dari pembunuhan anak umur di bawah 2 tahun oleh Herodes Agung. Diperkirakan umur Yesus ketika malaikat memberitahukan kepada orang tuanya bahwaHerodes telah mati, berkisar 1-3 tahun.
Bisa disimpulkan kelahiran Yesus sekitar tahun 7-4 sebelum masehi berpatok dari tahun kematian Herodes Agung (4 sebelum Masehi) di tambah dengan perkiraan umur Yesus pada saat itu (1-3 tahun).
Read More

Easislides Bisa Gantikan Easy Worship Di Gereja

Diposting oleh Andre Primaries

Pada masa sekarang ini, pelayanan gereja tidak bisa terlepas dengan multimedia. Bukan hanya di kota-kota besar saja, di daerah yang dianggap terpencil saja sudah menggunakan sarana multi media dalam pelayanan ibadah dan kegiatan gereja yang lain (tentunya yang sudah masuk listrik). Dahulu masih memakai OHP atau tulisan di kertas untuk membaca/ melihat lagu dan pengumuman. Sekarang semuanya hanya menggunakan LCD Projector dan computer (PC/Laptop). 

Tentunya dalam penggunaan diperlukan kemampuan dan pengetahuan tentang penggunaan sarana tersebut. Perangkat lunak yang paling sering digunakan adalah Easyworship, Microsoft powerpoint, Easilides (yang ketiga mungkin jarang digunakan). Yang paling familiar sekarang ini adalah Easy Worship. Akan tetapi harganya cukup membuat kantong kempes. Satu lisensi saja $ 399 atau jika dirupiahkan bisa 3 jutaan lebih dan untuk upgrade ke versi yang terbaru sekitar $ 99 atau hampir sejuta (versi asli bukan bajakan). Tapi kalo mau yang gratis, easislides adalah pilihan lain sebagai pengganti easy Worship. 

Proses pemasangan easislides di PC/Laptop tidak begitu sulit. Pertama pastikan bahwa computer kita telah terinstall Microsoft .NET Framework 2.0. Aplikasi ini penting karena jika tidak terinstall di computer maka easislides tidak bisa berjalan. Supaya lebih yakin, cek di folder C:\windows\Microsoft.NET\Framework, nanti ada folder v1xx, v2xx, v3xx dst. itu menandakan versi .NET yg diinstal. Kalau tidak ada download melalui link tersebut 

Install easislides di computer. Kalau belum ada download di sini 

Susudah terinstall tentunya kita membutuhkan alkitab yang familiar dengan orang Indonesia yaitu alkitab bahasa Indonesia untuk easislides yang dapat di download di sini Save file tersebut di computer kemudian double click file tersebut dan unzip dan secara otomatis file tersebut di ekstrak di C:\EasiSlides\HolyBibles. 

Buka easislides yang sudah terinstall. Untuk menambahkan alkitab tadi klik view >> option >> klik tab bible >> dan kemudian klik search. Jika suda ditemukan Alkitab Bahasa Indonesia Version (TB), klik add. Dan Alkitab Bahasa Indonesia sudah terinstall di computer. 

Akhirnya Easislides sudah terinstall di computer. Lagu-lagu bisa ditambah sesuai dengan kebutuhan kita. Bagi pengguna Easyworship, mungkin akan lebih mudah mengoperasikan easislides karena pada prinsipnya pengunaan dan pengoperasian-nya tidak terlalu jauh berbeda. Bagi yang belum familiar dengan easislide bisa menunggu artikel berikutnya Semoga dapat membantu Anda!
Read More